(Ilusi) Kehendak Bebas

ɴᴀʏᴀᴅʜᴇʏᴜ
3 min readApr 18, 2021
City vector created by macrovector_official — www.freepik.com

Jika berbicara mengenai kehendak bebas (free will) pasti tak luput juga untuk membicarakan tentang moralitas. Sebagian besar filsuf berdebat untuk menunjukkan bahwa manusia ihwalnya memiliki kendali atas keputusan dan tindakan, tidak ditentukan oleh dewa-dewi, berlaku atas kebutuhan logis atau determinisme kausal yang alami. Dalam dunia deterministik, segala sesuatu yang terjadi mengikuti hukum alam.

Determinisme mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi persis seperti yang harusnya terjadi, ini adalah hukum universal (Determinisme, 2013).

Dalam alam semesta deterministik, hukum alam berjalan selaras dengan uraian alam semesta pada keadaan dan waktu. Manusia tidak memulai urutan sebab akibat atas perilaku mereka — niat, keinginan dan alasan adalah hasil dari peristiwa sebelumnya. Sebagai contoh, jika di alam deterministik saya ingin makan es buah daripada eskrim di siang hari, berarti ada rantai penyebab peristiwa yang dapat ditelusuri: niat, keinginan dan keyakinan, yang kemudian berantai pula pada peristiwa-peristiwa yang mendahului keberadaan saya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kejahatan orang: seseorang melakukan kejahatan karena ada niat, keinginan, dan keyakinan hingga menelusuri kepada penyebab awal seseorang melakukan tindakan tersebut.

Lalu, jika dunia ini bersifat deterministik dan setiap tindakan manusia adalah konsekuensi dari peristiwa masa lalu serta hukum alam, bagaimana manusia mempertanggung jawabkan perilaku dan moral? Bagi determinis, kehendak bebas dan tanggung jawab moral bergantung pada kemampuan manusia untuk melakukan perilaku yang sebaliknya — seseorang tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan kondisi awal dan hukum alam yang telah ditetapkan. Dengan demikian, beberapa filsuf yang tidak kompatibel melihat kurangnya sumber antara unsur kehendak bebas dan tanggung jawab moral (van Inwagen, 1983; Pereboom, 2001).

Berbeda dengan kaum kompatibelis yang berpendapat bahwa kehendak bebas dan tanggung jawab moral dimungkinkan dalam alam semesta deterministik. Versi ini telah dipertahankan sejak zaman kuno. Kaum Stoa misalnya, yang mengatakan bahwa tindakan manusia bukan berarti harus dijelaskan oleh faktor-faktor di luar individu secara menyeluruh, namun juga perlu dijelaskan melalui kesesuaian pada pujian ataupun kesalahan (Bobzien, 1998; Salles, 2005).

Jadi, apakah kehendak bebas itu ada?

Bayangkan jika kita telah merencanakan untuk bangun subuh di malam sebelumnya, kita tidak dapat mengontrol bahwa kita akan bangun karena banyak probabilitas: kita bisa saja mati ketika kita tertidur atau dibunuh dalam tidur. Lantas, apakah ini merupakan kehendak bebas kita menjadi korban pembunuhan atau kehendak bebas pembunuh untuk membunuh kita?

Dalam kasus ini, berbagai arti akan muncul. Beberapa orang akan mengatakan bahwa si pembunuh bertindak atas kehendak bebas miliknya. Dan, ketika ia tertangkap, mungkin ia tak lagi bebas secara fisik, tetapi ia masih memiliki kehendak bebas dalam pikiran. Beberapa orang lainnya akan mengatakan si pembunuh dianggap bertanggung jawab akan kesalahannya dan pantas untuk disalahkan. Tetapi bagaimana jika ternyata pembunuh ini memiliki penyakit mental? Tidak sadar untuk melakukan pembunuhan? Apakah kita tetap harus menganggap bahwa ia bertindak atas kehendak bebasnya?

Strawson (1998) berpendapat bahwa baik atau jahat, keduanya tidak pantas menerima jenis penghargaan apapun. Untuk memiliki tanggung jawab moral dalam sebuah tindakan, maka tindakan tersebut harus berasal dari sesuatu yang terpisah dari kita — ada perbedaan antara kebebasan bertindak dan kebebasan berkehendak. Kebebasan bertindak artinya kita dapat bertindak secara fisik berdasarkan keinginan kita, sementara kebebasan berkehendak adalah pilihan untuk mendahului tindakan tersebut. Kedua konsep ini tidak serta merta (wajib) untuk berkaitan satu sama lain. Menurut saya, argumen Strawson ini paling masuk akal. Harris (2012) juga berargumen bahwa “kehendak bebas tidak lebih dari sekadar ilusi (atau kurang), bahkan tidak dapat dibuat koheren”.

Dari semua penjelasan ini, mungkin saja pada dasarnya sebuah tindakan bisa jadi dipengaruhi oleh kombinasi atas kehendak bebas maupun lingkungan. Atau, kehendak bebas atas sebuah perilaku memang akan berdampak pada orang lain. Lantas, bagaimana jika pertanyaannya diputar? Bagaimana jika pengertian sebab akibat (yang diyakini determinisme), justru bermuara dari nilai “benar dan salah” yang berlaku?

Tulisan ini dibuat sebagai respons dari tugas evaluasi Kelas Filsafat (24 Maret 2021), “Pendapat mengenai kehendak bebas manusia” dalam ​Kehendak Bebas, yang diadakan oleh @ekskulindonesia.

--

--