Etika Kepedulian: Etika Berperspektif Feminis

ɴᴀʏᴀᴅʜᴇʏᴜ
3 min readMar 11, 2021
Woman vector created by freepik — www.freepik.com

Bermula pada akhir gelombang kedua dan awal gelombang ketiga gerakan feminisme, filsuf-filsuf feminis menyadari absennya etika yang berpihak pada unsur-unsur femininitas. Teori moral tradisional yang berlaku (seperti deontologi dan konsekuensialisme) dianggap telah mengabaikan perspektif dan pengalaman perempuan. Teori moral ini cenderung mengistimewakan perspektif dan posisi maskulin — khususnya laki-laki berkulit putih.

Alison Jaggar, seorang filsuf Amerika, menulis bahwa yang menjadi masalah dari etika tradisional adalah pandangan masalah moral yang kerap kali dianggap sebagai persoalan sepele. Terutama dalam ranah domestik, di mana perempuan melakukan pekerjaan rumah seperti mengasuh anak, orang sakit atau lemah, dan orang tua.

Etika tradisional menolak sifat-sifat feminin yang secara budaya diremehkan karena melibatkan “saling ketergantungan, komunitas, koneksi, berbagi, emosi, tubuh, kepercayaan, tidak adanya hierarki, alamiah, imanensi (subjektif), proses, kegembiraan, kedamaian, dan kehidupan.” (Jaggar 1992, hal. 363–364)

Karenanya, para filsuf feminis menciptakan etika yang memberikan perhatian khusus pada kebaikan, prinsip, nilai, dan perspektif yang mampu memberikan pemahaman atas semua hal yang dianggap remeh; gambaran penuh tentang pengalaman manusia dan kehidupan moral.

Carol Gilligan melalui karyanya, In A Different Voice (1982), mempromosikan pandangan bahwa perempuan cenderung menekankan empati dan belas kasih di atas gagasan moralitas berbasis keadilan.

Etika kepedulian merupakan “prinsip utama resolusi konflik tanpa kekerasan”, mencerminkan “keyakinan pada aktivitas restoratif kepedulian”, dan sikap untuk melihat “aktor dalam dilema yang tersusun, bukan sebagai lawan — menekankan pada konteks keanggotaan dari sebuah hubungan yang saling bergantung” (Gilligan 1993, hal. 30).

Gilligan juga berargumen bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki dan lebih memperhatikan hubungan daripada aturan, namun hal ini bukan berarti karena perempuan tidak beretika — melainkan memiliki nilai yang berbeda. Perbedaan ini alami atau justru telah dibangun secara sosial; buah dari ‘pengasuhan’.

Contohnya, ketika seorang suami tidak mampu membelikan obat untuk istrinya yang sakit parah, ia dihadapkan pada dua pilihan: haruskah ia mencuri (bertentangan dengan moral) atau merelakan istrinya mati. Lantas, pilihan mana yang terbaik?

Jika memakai perspektif etika kepedulian, etika ini jelas akan menempatkan hubungan, perhatian, kasih sayang di atas aturan. Atau, dalam kasus ini, mencuri obat adalah jawabannya. Konsekuensialisme mungkin saja mengatakan hal yang sama dengan alasan menyelamatkan nyawa istri lebih baik dibandingkan konsekuensi negatif dari mencuri. Namun, yang menjadi pertimbangan adalah biaya dan manfaat, bukan hubungan.

Berangkat dari Gilligan, Nel Nodding pun memiliki perspektif yang serupa. Baginya, teori etika tradisional terlalu bersentral pada laki-laki, berfokus pada alasan, hukum, dan keadilan — sesuai dengan pikiran dan nilai laki-laki — dan mengabaikan nilai feminin seperti empati, keterkaitan, dan tindak responsif. Nodding juga berargumen: etika kepedulian bukan mengartikan bahwa keadilan tak lagi bernilai, melainkan sebagai tindakan lanjutan.

Dengan menerapkan preposisi ini, kita menyadari akan pentingnya memahami dan mendengarkan sebuah pengalaman. Bahwasannya, etika kepedulian berguna sebagai pisau atas sebuah pengalaman; menitikberatkan pada perbedaan identitas dan perspektif yang dipakai untuk memahami kehidupan, seperti menghilangkan penindasan terhadap perempuan, kaum minoritas, maupun kelompok tertindas lainnya.

Etika kepedulian membantu untuk melihat bahwa gender dan identitas ihwalnya dibangun dan dihubungkan oleh kekuatan maskulin, melalui pembentukan hierarki gender dan seksual, pembagian kerja, batasan antara ruang privat dan publik hingga kekerasan. Menjadi perempuan atau kaum minoritas lainnya, baik secara biologis maupun sosial, membuat seseorang lebih rentan terhadap tekanan sosial dan politik dibandingkan laki-laki.

Selain itu, etika kepedulian tidak pula serta merta mengajarkan cara menyembuhkan ‘luka’ secara instan. Ia justru mengajarkan betapa sulit untuk melakukannya, menuntut kita untuk menyelidiki hal-hal di balik pengalaman seperti mengapa dan bagaimana, mencari tahu siapa penyebabnya, bahkan memperhatikan alasan mengapa bungkam. Sehingga, upaya untuk mengakhiri atau memperbaiki ‘luka’ kemungkinan besar mustahil, yang terpenting terlibat dalam proses yang panjang dalam merawat dan mendengarkan pengalaman tersebut.

Meskipun etika kepedulian berangkat dari gagasan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki etika dan moral yang berbeda dalam pengambilan keputusan, etika ini juga memberikan pandangan bahwa sesungguhnya kita semua mampu bergandengan tangan; jika bersama-sama menempatkan diri pada posisi (si) pemilik pengalaman atau bertindak atas perasaan empati. Unsur-unsur feminin ini penting untuk diakui.

Referensi:

D’Olimpio, Dr Laura. (2019, May 16). Ethics Explainer: Ethics of Care. The Ethics Centre. https://ethics.org.au/ethics-explainer-ethics-of-care/

Mackay, Kathryn. (n.d). Feminism and Feminist Ethics. Rebus Community. https://press.rebus.community/intro-to-phil-ethics/chapter/feminism-and-feminist-ethics/

Okano, Yayo. (2016, March 27). Why Has the Ethics of Care Become an Issue of Global Concern?. Wiley Online Library. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/ijjs.12048

Tulisan ini dibuat sebagai respons dari tugas evaluasi Kelas Feminisme (5 Maret 2021), “Pentingnya Memahami Perbedaan Pengalaman dan Etika Kepedulian” dalam ​Akar Kepedulian: Landasan Etis Feminis, yang diadakan oleh @ekskulindonesia.

--

--