Dilema Etika ‘Trolley Problem’

ɴᴀʏᴀᴅʜᴇʏᴜ
4 min readMar 14, 2021
Would you sacrifice one person to save five? — Eleanor Nelsen (https://www.youtube.com/watch?v=yg16u_bzjPE)

Jika kamu berdiri di antara dua rel kereta yang berbeda, dan memegang kuasa untuk mengontrol arah kereta karena kamu menggenggam tuas. Kemudian, kamu melihat kereta tidak terkendali sedang meluncur di atas rel dan mencapai persimpangan dalam beberapa menit menuju sekelompok lima orang yang berdiri di tengah trek. Kamu pun tahu, jika kereta terus berjalan pada jalurnya, kelima orang tersebut tidak dapat dapat menghindari kereta ini tepat waktu. Sedangkan, di jalur lain, satu orang sedang berdiri di atas rel. Apakah kamu akan membiarkan lima orang tersebut mati? Atau kamu justru memutuskan untuk menarik tuas dan mengorbankan satu orang tersebut, namun menyelamatkan kelima orang yang tadi?

Cerita di atas dikenal sebagai masalah troli (Trolley Problem), sebuah pertanyaan filosofis populer yang menentang prinsip-prinsip etika dan nilai dalam kehidupan manusia. Dilema moral ini pertama kali dikemukakan oleh Phillipa Foot pada tahun 1967, Foot dikenal sebagai salah satu tokoh yang bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali etika kebajikan. Masalah troli ini adalah eksperimen pemikiran dalam etika yang mempertentangkan dua gagasan moral: utilitarianisme dan deontologi.

Utilitarianisme: mengorbankan satu orang, menyelamatkan lima nyawa

Konsekuensialisme adalah pandangan bahwa hal yang secara moral benar untuk dilakukan dalam suatu situasi adalah untuk menciptakan hasil keseluruhan terbaik bagi semua pihak. Dalam filsafat moral, konsep ini dikenal pula dengan nama utilitarianisme; mengukur konsekuensi dalam kaitannya dengan utilitas, dan sejauh mana pilihan kita menghasilkan kesenangan, rasa sakit, atau realisasi positif dan negatif terhadap orang-orang yang terpengaruh oleh keputusan kita. Konsep klasik utilitarianisme ini dipimpin oleh Jeremy Bentham (1789) dan John Stuart Mill (1859).

Utilitarian mendefinisikan tindakan bermoral sebagai sebuah tindakan yang memungkinkan sebagian orang untuk hidup. Mereka berargumen bahwa penyiksaan ataupun tindakan kekerasan lainnya dalam beberapa keadaan tidak diperbolehkan secara moral, namun dalam beberapa keadaan lainnya diperlukan untuk memaksimalkan kegunaan/utilitas. Sejalan dengan apa yang telah dikatakan John Stuart Mill (1879):

Menurut Prinsip Kebahagian Terbesar, tujuan akhir adalah keberadaan yang sejauh mungkin dikecualikan dari rasa sakit, dan sekaya mungkin dalam kenikmatan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini, menurut pendapat kaum utilitarian merupakan standar moralitas; yang karenanya dapat didefinisikan, bersumber pada aturan-aturan tingkah laku manusia, dengan pelaksanaan yang dijelaskan dan dijamin untuk semua umat manusia — bukan hanya untuk individu tertentu melainkan seluruh makhluk hidup. [1]

Walzer (1973) juga menyebutkan konsep ini sebagai tangan kotor (dirty hands), yakni gagasan bahwa beberapa tindakan mengerikan dapat diterima secara moral, atas nama kebaikan yang lebih besar bagi semua yang terdampak. Jika konsep ini diaplikasikan pada masalah troli, maka utilitarian percaya bahwa lima nyawa yang diselamatkan lebih baik dibandingkan satu nyawa. Dengan demikian, menarik tuas adalah jawaban yang benar.

Deontologi: menyelamatkan satu orang, mengorbankan lima nyawa

Berbeda dengan utilitarianisme, deontologi menilai beberapa pilihan tidak dapat dibenarkan oleh pengaruhnya, meskipun seberapa baik konsekuensinya secara moral. Dengan kata lain, deontologi menyangkal bahwa moralitas semata-mata tentang konsekuensi. Teori ini dikembangkan oleh Immanual Kant (1785). Etika Kant didasarkan pada pandangan tentang siapa kita, menekankan nilai sebagai manusia (persons).

Dalam pengertian etis Kant, setiap makhluk yang memiliki sadar diri, responsif terhadap alasan, dan memiliki otonom akan dihitung sebagai individu. Bahkan, beberapa hewan, seperti kera, dapat dihitung sebagai manusia. Jawaban dasarnya, bagi Kant, makhluk rasional adalah makhluk yang dapat bertindak dengan niat baik (good will): mengenali keberadaan alasan dan bertindak sedemikian rupa, sehingga salah satu alasan untuk bertindak tersebut memang diperlukan secara moral. [2]

Karenanya, Kant percaya bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk rasional. Jika diterapkan pada masalah troli, deontologi percaya ketika kita menarik tuas, maka kita secara aktif terlibat dalam menentukan kematian orang yang tidak bersalah. Bagi deontologi, hal ini menentang intuisi moral normal kita. Maka, tidak menarik tuas adalah pilihan yang terbaik.

Etika mana yang menjadi pilihanmu?

Tentu saja tidak akan pernah ada solusi sempurna untuk masalah troli ini. Nyatanya, masalah ini dimaksudkan untuk memprovokasi pemikiran dan menciptakan wacana agar dilema moral dihargai, menggunakan pemikiran filsafat maupun metode ilmiah.

Namun, jika memang harus benar-benar memilih diantara dua proposisi ini, maka apa yang dilakukan oleh orang-orang deontologi — tidak melakukan apa-apa karena kita tidak pantas menentukan kematian satu orang yang berada di rel sebelah — terdengar seperti sebuah justifikasi. (Meskipun kedua opsi sama sulitnya). Dalam skenario ini, saya diberi kekuasaan untuk mengurangi jumlah orang yang tewas dalam tragedi. Mengingat masing-masing jalur menghasilkan keseimbangan agregat kesenangan dan rasa sakit, keputusan yang paling etis bagi saya adalah memilih jalan penderitaan yang paling sedikit. (Betul, saya memang menghindari rasa sakit yang banyak). Maka, dalam kasus ini, saya berada dalam pihak utilitarianisme. Bukan berarti karena saya merasa pilihan ini paling benar, melainkan untuk menyelamatkan lebih banyak kehidupan.

Catatan lainnya, utilitarianisme seringkali dikontraskan dengan deontologi, seperti yang telah dikatakan pada bagian awal. Padahal, kedua teori ini tidak serta merta harus ditafsirkan sebagai kontradiktif. Kant menegaskan bahwa kita harus bertindak berdasarkan aturan yang dihasilkan melalui justifikasi tertentu — menekankan universalitas. Sedangkan, dalam setiap langkah pengambilan keputusan, kita dihadapkan oleh jutaan alternatif yang tak mungkin kita ketahui jalan mana yang terbaik karena kompleksitas alam semesta. Tak ada pilihan lain selain kita terpaksa untuk menebak sebaik-baiknya. Maka, kita tak bisa hidup berpihak sepenuhnya pada utilitarianisme, deontologi, ataupun etika lainnya secara tunggal. Justru itu ‘kan yang membuat manusia bermoral?

Referensi:

http://www.uvm.edu/~lderosse/courses/intro/Mill_Util.pdf

Would you sacrifice one person to save five? — Eleanor Nelsen https://www.youtube.com/watch?v=yg16u_bzjPE

Chapman, Andrew. June 9, 2014. Deontology: Kantian Ethics. 1000-Word Philosophy: An Introduction Anthology. https://1000wordphilosophy.com/2014/06/09/introduction-to-deontology-kantian-ethics/

Kvalnes, Øyvind. April 11, 2019. Duties and Outcomes. Moral Reasoning at Work pp. 21–29. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-15191-1_3

No author. November 21, 2007. Diontological Ethics. Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/ethics-deontological/

Tulisan ini dibuat sebagai respons dari tugas evaluasi Kelas Filsafat (10 Maret 2021), “Trolley Problem Berdasarkan Etika Moral” dalam ​Etika dan Moralitas, yang diadakan oleh @ekskulindonesia.

--

--