Adakah Autentisitas di Ruang Siber?

ɴᴀʏᴀᴅʜᴇʏᴜ
3 min readMar 6, 2021
Social vector created by vectorjuice — www.freepik.com

Autentisitas jika diartikan secara harfiah menyiratkan konsep-konsep seperti kredibilitas, akurasi, dan validitas. Dalam artian selanjutnya, autentisitas merujuk pada keaslian sebagai perlawanan dari artifisial. Autentisitas bisa pula diartikan sebagai identitas personal yang menyangkut pada kejujuran.

Para filsuf meyakini autentisitas sebagai salah satu konsep konvensional dalam filsafat eksistensialis, terutama dalam membahas kehidupan sosial dan interaksi yang terjadi antara manusia; percaya bahwa setiap manusia mempertahankan keberadaan yang unik dan mempertanggung jawabkan keberadaan ini. Eksistensialis juga percaya bahwa untuk menjadi individu, manusia perlu menemukan jalan yang benar atas pilihannya sendiri. Bahkan, filsuf-filsuf ini telah menciptakan dan menggunakan berbagai konsep untuk menggambarkan bahwa manusia yang dipengaruhi atas suatu kuasa, melainkan bukan dari dirinya sendiri, tidaklah autentik.

Namun, beberapa filsuf eksistensialis ini juga menggunakan konsep autentisitas yang berlawanan untuk menjabarkan definisi autentisitas itu sendiri, misalnya “Dasman” milik Heidegger atau “Bad Faith” milik Sartre. Benang merah dari Sartre, ia menghubungkan dan membahas interaksi interpersonal dan relasi antara manusia. Baginya, autentisitas juga berkaitan dengan kebebasan dan tanggung jawab.

Mendefinisikan Bad Faith

Bad faith adalah salah satu konsep dari Sartre yang mengacu pada mengetahui hal yang lebih berarti namun mengabaikannya. Misalnya, ketika individu menyesuaikan dirinya dengan gaya hidup atau gambaran lain yang diekspektasikan oleh orang lain, daripada dirinya sendiri. Dengan kata lain, keberadaannya untuk orang lain.

Menurutnya, penderitaan (anguish) merupakan salah satu faktor yang mengarahkan manusia kepada penipuan dan niat buruk. Sartre percaya bahwa setiap manusia menderita akibat tanggung jawab yang berat, dan beberapa dari mereka mungkin berusaha untuk menyembunyikan penderitaan ini:

“Existentialism like to say, man is in anguish. That is, what they mean: a man who commits himself and who realizes that he is not only, the individual that chooses to be, but also, a legislator choosing and at the same time what the humanity as a whole should be, cannot help but be aware of his own full and profound responsibility. True many people do not appear especially anguished, but we maintain that they are merely hiding their anguish or trying not to facing it” (Sartre dalam Existentialism is a humanism)

Eksistensialisme mengemukakan bahwa penderitaan merupakan simbol atas pemaknaan hidup, memahami tanggung jawab manusia, dan menemukan realitas autentisitas kehidupan. Oleh karenanya, bad faith merupakan upaya untuk menghindari tekanan dari paradoks ini. Dengan ini, Sartre mendefinisikan autentisitas sebagai penerimaan atas keberadaan manusia, mengakui kebebasan, dan tanggung jawab atas apa adanya; manusia memilih dan melakukan hal-hal untuk dirinya sendiri.

Kehadiran Autentisitas di Ruang Siber

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, konsep autentisitas yang dikemukakan Sartre dikaitkan dengan konsep-konsep seperti kebebasan, penderitaan, tanggung jawab, dan diri sendiri. Internet atau ruang siber menciptakan kebebasan bagi individu untuk mengekspresikan diri. Dengan kata lain, ruang siber memfasilitasi perkembangan autentisitas individu.

Faktanya, ruang siber dicirikan dengan anonimitas yang mengadopsi identitas multi bagi pengguna. Di satu sisi, anonimitas ini dapat dianggap sebagai keuntungan karena mampu menghilangkan batasan dan mencerminkan kebebasan untuk mewakili/menampakkan diri dalam lingkungan. Namun, di sisi lain, kebebasan dalam anonimitas ini mungkin saja bertentangan dengan tanggung jawab.

“I exists because I is seen by others

Sartre mengemukakan bahwa penderitaan bermula ketika suatu keberadaan diakui karena pandangan dari orang lain. Dengan perspektif ini, kesadaran autentik diri manusia di ruang siber bisa saja berkurang, begitu pula dengan tanggung jawab dan komitmen individu. Individu di dunia maya mampu membangun skenario baru, menjadi tempat tumbuh berkembangnya “bad faith”. Sebagaimana dalam poin sebelumnya, Sartre menjelaskan bahwa individu dengan bad faith mencoba untuk menipu diri sendiri dengan dalih bahwa mereka tidak memiliki cukup kebebasan untuk memilih. Dalam situasi ini, individu dikelilingi oleh dunia fantasi dan ilusi yang jauh dari kenyataan.

Namun, hal ini tidak serta merta mendefinisikan bahwa kondisi di ruang siber artinya berinteraksi tanpa tanggung jawab. Karena eksistensialis percaya bahwa manusia autentik adalah manusia yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan, identitas asli, serta bertanggung jawab, sekalipun di dunia maya. Dengan demikian, dapat dikatakan ruang siber seperti dua sisi koin: ia mampu membangun autentisitas dalam aspek-aspek tertentu, tetapi juga mampu melemahkan aspek-aspek lain.

Tulisan ini dibuat sebagai respons dari tugas evaluasi Kelas Filsafat (21 Februari 2021) , “Pemahaman Autentik” dalam Filsafat Sebagai Gaya Hidup​, yang diadakan oleh @ekskulindonesia.

--

--